Tulisan ini telah dimuat dilaman resmi Sharingbareng.com
Alam dan Manusia
Alam sejatinya tercipta dengan seluruh sistem yang ada secara sempurna. Sistem yang tersusun atas berbagai komponen diciptakan secara seimbang di alam semesta. Salah satu komponen penyusun dari alam adalah Manusia. Komponen alam berupa manusia ini diberikan keiistimewaan oleh Pencipta Alam Semesta. Tahukah engkau keiistimewaan yang dimaksud? Tepat sekali, akal, ia menjadi keiistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain.
Pencipta langit dan bumi menciptakan manusia lengkap dengan kebutuhan yang tersedia dalam sistem alam semesta. Misalnya saja tumbuhan dan hewan sebagai pemenuh kebutuhan pangan; lalu ada pohon, dengan kayunya ia bermanfaat bagi manusia sebagai energi dan bisa jadi bahan bangunan untuk rumah; kemudian ada air yang berguna untuk berbagai aktivitas manusia.
Sudah? Heits, belum!
Apa yang sudah disebut diatas hanyalah manfaat yang tampak bagi manusia. Ketika berbicara tentang kebermanfaatan, ada 2 istilah tangibel dan intangibel. Tangibel ketika manfaat itu dapat dirasakan secara material seperti kayu bakar, air minum, daging, kayu konstruksi, buah, dan lain-lain. Selain itu, ada hal yang bermanfaat bagi manusia tetapi kita tidak dapat merasakan secara langsung. Apakah itu?
Jika alam memberikan fisiknya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Alam juga memberikan jasa atas kehadirannya. Manusia seringkali melupakan jasa alam yang satu ini. Apa jasa alam? Sebagai penyangga kehidupan. Contohnya antara lain kemampuan akar pohon mencengkram tanah sehingga tidak terjadi bencana longsor, kemampuan hutan menjaga mata air, kemampuan hutan menyerap gas rumah kaca, kemampuan hutan mangrove meredam kecepatan gelombang tsunami, kemampuan pohon sebagai peneduh, dan masih banyak lagi. Jasa-jasa itu takkan pernah mampu dimakan oleh manusia bukan? Alam perlu dipandang sebagai kesatuan yang utuh, bukan hanya apa-apa yang dapat diambil oleh manusia tetapi secara menyeluruh. Jika saja kita hanya melihat alam sebagai objek untuk dipaksa diambil apa yang ada didalamnya maka ia akan kehilangan satu demi satu komponen penyusunnya. Hilangnya satu komponen secara berlebih menyebabkan adanya ketidakseimbangan.
Manusia dan Alam
Jika sebelumnya sedikit tentang apa yang alam berikan kepada manusia, lalu saat ini kita coba memutar balik dari manusia kepada alam. Mengawali dari manusia pertama yakni Adam. Dahulu ketika manusia pertama diturunkan ke bumi, apakah lantas Adam membelah diri dan menjadi individu yang sangat banyak? Tidak.
Berapa jumlah manusia zaman dahulu? Sederhana saja, jika Adam manusia pertama, maka jawabannya jumlah manusia dahulu kala adalah SATU. Sekarang, berapa jumlah manusia saat ini? Bagaimana dengan jumlah manusia di masa depan?
Melansir pada beberapa portal berita mainstream, jumlah penduduk bumi saat ini mencapai 7,3 miliyar, dan akan terus bertambah. PBB menyatakan bahwa pada akhir abad 21 penduduk bumi mencapai 11,2 miliyar. Jumlah tersebut bukanlah jumlah kumulatif. Sebuah lembaga bernama Population Reference Bureau di Amerika mengungkapkan bahwa total manusia sejak sejarah manusia muncul ialah 108,2 miliyar. Angka yang fantastis bukan?
Selama itu pula bumi didiami tanpa adanya perpindahan manusia menuju planet lain. Bumi terus saja bergerak memenuhi kebutuhan manusia dengan sistem yang telah diciptakan oleh Sang Pencipta Langit dan Bumi.
Lalu bagaimana sekarang? Melihat jumlah tersebut, tidakkah terlintas dalam benak kita untuk berpindah planet? Anda bisa berpikir secara merdeka apabila anda punya rencana tersebut, tetapi saya rasa itu bukanlah sebuah pilihan saat ini. Pilihan kita saat ini ialah menjalani amanah Pemilik Langit dan mengabdi bagi alam.
Pembahasan manfaat bumi kepada manusia akan sangat luas. Namun pengabdian pada alam, tak banyak yang mampu mengetahui, memahami, dan mengimplementasi. Manusia dan lingkungan tak dapat dipisahkan, ungkapan dahulu kala ketika tak ada sekat antara pedesa dan perkotaan. Namun kini? Pemisahan itu seakan-akan juga menunjukkan bagaimana kondisi alam.
Masyarakat adat menjadi perhatian sendiri. Telah banyak pustaka yang menyatakan bahwa masyarakat adat atau lokal memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola lingkungannya. Bukan hal yang aneh karena mereka hidup berdampingan dengan alam. Menganggap alam sebagai sebuah keutuhan.
Kehutanan dan Alam
Pencipta langit sudah memberikan kode bagi manusia dalam sebuah kitab yang tak dapat diragukan. Kondisi alam yang saat ini rusak, tak lain dan tidak bukan disebabkan oleh ulah manusia. Komponen yang hilang menjadi sebab ekosistem yang tak seimbang. Manusia setengah sadar dalam menebang, memenuhi hasrat pemilik saham. Kini (semoga) manusia mulai sadar, generasi yang tak lagi bersandar pada alam, menggeser cara pandang pada merawat alam.
Lahir sebuah fakultas bertitel kehutanan. Meski ia hanya satu dari komponen alam, tak dapat dipungkiri ekosistem atau lingkungan klimaks tentu saja berlabel dengan hutan. Menghimpun seluruh komponen dalam berbagai macam bidang studi, Silvikultur (budidaya), manajemen, konservasi, dan teknologi hasil hutan. Fakultas Kehutanan hanya sebuah titik kecil dan bukan sebuah tujuan akhir. Fakultas kehutanan hanyalah sebuah alat untuk memahami bagaimana alam bekerja; memahami bagaimana menciptakan harmoni dalam mencukupi kebutuhan manusia dan alam.
Ruang lingkup keilmuwan yang tak mengenal batas spasial (ruang), tak ada pemisahan kota dan desa, pantai dan gunung, tanah dan langit. Keseluruhannya terhimpun dalam memelajari kehutanan dan alam. Melihat alam sebagai sistem yang utuh seperti dari mata air hingga muara, dari biji hingga pohon dewasa, dari nama hingga perilaku satwa, jenis tanah hingga cuaca. Kegagalan dalam memahami alam yang akan mengantarkan pada ”Air Mata”.
Fakultas kehutanan menjadi salah satu jalan untuk mendewasa dengan waktu dan alam. Waktu yang akan menambah jumlah manusia dan usia sang alam. Manusia bersama kebutuhan adalah keniscayaan dan alam adalah sumber terbaik. Merawat dan mengabdi pada alam adalah salah satu usaha untuk menghidupi manusia. Mencari titik temu antara alam dan manusia yang menjadi tujuan akhir pengabdian. Meski sejatinya itu takkan pernah terjadi, maka yang seharusnya terjadi adalah pengabdian kepada alam yang abadi.
“Selamat memilih jalan pengabdian untuk alam dan kehidupan!”